Rabu, 28 Maret 2012

Karena percaya, itu saja.

Teralalu menggebu mungkin, atau hanya ambisi semu? Aku tak tahu. Sampai detik ini pun, tidak ada yang berani menjamin kesungguhannya. Hanya percaya, itu saja.

Seperti aku dan kamu sama percaya jika esok mentari akan terbit dari timur (lagi), sekalipun malam ini kita tidur ditempat masing-masing  menghadap arah yang kita sendiri tidak tahu pasti. Tetapi percaya, itu saja.

Menuju ke satu titik tetapi berlainan arah, tak masalah. Bagiku aku dan kamu sama tahu. Urusan siapa yang sampai duluan, tak jadi soal. Aku adalah aku, dan kamu adalah kamu. Saling percaya, itu saja.

Dengan segala keterbatasan yang sama-sama kita miliki, dengan berbekal pengharapan yang tulus dan kepercayaan yang lahir dari hati, tiba disatu tujuan yang sama-sama kita harapan, tak ada kata mustahil. Karena kita sama-sama percaya, itu saja.

Yang jelas, bijak sekiranya ikhtiar ini adalah hanya untuk kebaikan aku dan kamu. Dan dengan niat semata-mata hanya untuk ibadah kepada-Mu Rabb, semoga mendapatkan berkah dan ridha-Mu. Karena kami percaya, itu saja.

Insomnia akut stadium 6

Jika saja kamu tahu, sesungguhnya detik ini kurasakan lagi getaran hati yang sempat tersimpan dan tertinggal disudut hati terdalam yang mulai terlupakan, ketika terbuka lagi (atau mungkin sengaja kau sibakkan untuk menghancurkan keteguhan ini) disadari atau tidak, hadirmu kali ini membuatku terjatuh, sungguh. Seperti angin lalu yang melumpuhkan segala urat syaraf motorik yang dulu kokoh ketika hati ini masih bersanding dengan hatimu, kemudian memudar seiring jejak langkahmu yang perlahan meninggalkan hati yang sempat kau titipkan.

Kali ini kau hadir membawa kepingan hati yang sempat kau hancurkan, kau tawarkan lagi untuk kubalut bersama segenggam kata rindumu yang membuatku gemetar tak tertahankan. Antara obsesi dan keteguhan hati, aku ragu, sungguh tak ingin terbuai oleh hamparan pengharapan yang fana denganmu. Aku disini bersama hati yang penuh tanya, tanya akan hatiku dan hatimu yang semakin tak menentu, yang sebenarnya sama-sama tahu hanya tanya tak berujung, tak terjawab, selamanya menjadi tanya. Bahkan mungkin ketika suatu saat kutetapkan kepada siapa kelak kutambatkan hati ini, atau tidak untukmu? Aku tak tahu, keadaan ini membuatku terpuruk tak terperi.

(*untukmu yang masih menyimpan separuh hati yang enggan kupinta kembali...

Perginya Sang Maestro sejati, Superhero Tiada Tanding

Ketika masih kecil, sesosok superhero idolaku paling hebat tiada tanding. Ketika teman-temanku denga hingar bingar mengidolakan Power Ranger, Fantastic 4, Doraemon, Jaka Sembung, Jaka Tingkir, sampai Jaka Suara (baca : Bang Haji Rhoma Irama) tetapi idolaku yang satu ini sangat istimewa bukan buatan.

Dengan baju tempurnya yang sangat maskulin, topi koboy hitam, baju lengan panjang hitam, celana panjang hitam tak lupa kulitnya yang mulai menghitam. Semua serba hitam, luar biasa.

Teman setianya si Belalang Tempur (baca : Sepeda Kumbang) pun hitam, lengkap dengan aksesoris yang nyentrik sekali. Jok kulit dengan pegas dibawahnya, setang kemudi yang dinaikkan sedikit, dua roda raksasa super besar, lampu senter yang dapat menyala tanpa minyak tanpa listrik, menyala ketika kepala dinamonya ditempelkan sedikit di samping kanan ban roda depannya, sangat terang. Pedalnya yang begitu panjang melengking berputar seirama ijakan kaki sang empunya, tak lupa terpasang klakson yang sangat eksklusif, “klining… klining… klining”. Gagah luar biasa.

Tak sampai disitu, superheroku ini layaknya superhero teman-temanku yang dilengkapi senjata super canggih, Canon Gun Shot, Pistol Laser, Pedang Electrik sampai Kapak Naga Geni 212. Tetapi senjata canggih superheroku ini sangat klasik, seperti angka tujuh jika diberdirikan, dengan pegangan kayu dan baja supertebal sebagai penghantamnya, mampu meggulung habis lapisan kulit ari bumi. Nama ilmiahnya : “Cangkul”, pun hitam.

Maka, dengan segala kebanggakan yang saya nobatkan kepadanya, gelar untuk dirinya hanyalah “Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempur” tak lain adalah Kakekku.

Setiap pagi ketika beliau hendak kesawah, selalu melintasi halaman rumahku karena memang jalurnya searah dengan sawahnya. Dan ibuku selalu memanggilku setiap beliau melintas. “Boy… sini, itu superheromu hendak lewat!!!”, dengan berangsut-angsut, aku lari sekuat tenaga untuk berdiri dengan tenang sambil menatap gerak lincah Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya yang melintas gagah, sangat maskulin. Melintas, sambil menoleh sedikit tersenyum dan “klining… klining”. Amboy… alangkah hebatnya superhero yang satu ini, sangat gagah siap melahap habis musuhnya dimedan tempur sana. Tak pernah kulepas pandanganku barang sedetik menatap sang Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya dibalik punggung yang perlahan menjauh membelakangiku sepanjang jalan, sampai berbelok dan hilang dari pandanganku.

Walau terlihat jelas ibuku sangat bosan mendengar hebohnya komentar-komentarku tentang kekagumanku akan sosok superhero Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya yang sama seperti pagi kemarin dan sebelumnya, aku tak peduli. Dan ibuku mengiyakan setiap ucapku sambil terus menyuapiku.

Suatu hari ketika aku dan ibuku mertandang kerumah kakekku si Superhero Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya, ketika mereka asyik berbincang, kulirik sedikit si Belalang Hitam yang terparkir anggun dibawah pohon Jambu Air yang teduh dipekarangan rumahnya. Rasa-rasanya tak tertahan untuk mengusapnya, memegang setiap lekukan yang begitu mempesona yang melintas menawan setiap pagi didepan halaman rumahku, sangat berwibawa. Entah ide gila macam apa yang merasukiku saat itu, aku mengambil bangku menaruhnya disamping si Belalang Tempur dan menaikinya sambil berjinjit agar dapat menaiki Belalang Tempur anggun ini, karena posisiku yang tidak seimbang, maka aku terjatuh bersama si anggun Belalang Tempur. Sangat takut, dan untuk menutupi ketakutan agar tidak kena omel sang empunya, maka aku menangis sejadi-jadinya. Tanpa kusangka, bukannya omelan yang aku dapat, tetapi malah sapanya yang halus, “Kenapa Boy?, kau ingin naik sepeda ini?, hayu sini kakek bonceng keliling kebun”. Sungguh bahagia tak terkira, tak tertahan.

Setibanya dirumah, mendadak tidak nafsu makan tidak bisa tidur, terus membayangkan aksi heroik sang Ksatria Baja Hitam yang dengan lihai memboncengku dengan Belalang Tempurnya, tempo siang dulu, sangat menakjubkan. Sampai-sampai ide gilaku merasukiku lagi, berandai-andai, kelak sudah besar, aku akan mengajak adu balap dengan Ksatria Baja Hitamku ini, sendiri tanpa berbonceng. Sangat gila…

Belum hilang keinginananku untuk mempersunting si Beleleng Tempur agar terlihat sedikit lebih "dewasa", sepupuku dengan ide gila stadium 6 nya mengajakku mencuri lintingan rokok diatas meja milik kakekku, gila, sangat gila. Entah setan jenis apa dan dari mana asalnya yang berani merasukinya, lebih gila lagi, aku dengan polosnya mengiyakan saja. Didapatlah dua cecunguk ingusan dengan gaya mirip James Bond memegang lintingan rokok dan korek duduk bersila dengan santainya dibawah meja ruang tamu, hanya berdua. Dengan perasaan yang was-was tanganku keringatan, gemetar tak tertahan, tetapi setan sebelahku ini dengan santainya nyeloteh : “Nikmati saja Boy… kita ini sudah dewasa, samalah seperti mereka”. Seperti terhipnotis, aku hanya memanggut saja mendengar celoteh sepupu gilaku ini. Dia sudah mencuri start, menyulut lintingan rokok sambil mengepulkan asapnya kemuka polosku, sangat percaya diri. Aku terbatuk. “Lihatlah Boy, keren..!!!!”. Tak mau kalah, kuletakkan ujung lintingan rokok, kuapit dengan kedua ujung bibirku, sedikit memonyongkan dan menyalakan korek, ambil sedikit mengernyitkan mata kutempelkan apinya diujung lintingan rokok, lama sekali baru terbakar. Biibirku terasa panas tak tertahan, kemudian kutarik lintingan rokok, kudongakkan muka sedikit keatas, kumoncongkan bibir sambil meniupnya keudara, sangat peracaya diri, tetapi… “Boy, kok tidak keluar asap ya?”. “Haha.. bego kali kau, mana ada asap kalau rokok kamu tiup, dihisap Boy, lihatlah abangmu ini. Hahaha”. Geram melihatnya terus-terusan mengejekku, tak ambil jedah aku langsung menghisap rokok dalam sekali, sampai terbatuk, tersedak… sampai kepalaku membentur atap meja diatasku dan si kunyuk ini malah tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi gagalku.

Mendengar keributan dua cecunguk dibalik meja tamu dan asap yang membumbung dari kolong meja, seisi rumah heboh tak terkira. Tanpa ampun, kami disidang kena omel sana-sini. Dan ketika sang Ksatria Baja Hitam Superheroku menghampiri, gemetar tak tertahan sekujur badan. Hanya bisa menebak-nebak, entah omelan apa yang akan ditumpahkan kepada kedua ceunguk ingusan imut ini, yang dengan lancangnya mencuri dua linting rokok miliknya, hanya menunduk sangat takut. Tetapi, sekali lagi tanpa diluar dugaan sama sekali, kami hanya terpaku kaget bukan main ketika beliau hanya tersenyum sambil mengusap kepala kami, sangat lembut dan santun, “Kalian belum pantas memegang apalagi menghisap rokok, tidak baik buat kalian, nanti saja kalau sudah besar nanti merokok bersama, disini, yah…”. Sungguh sangat terharu, malu, dan sekali lagi semakin kagum saja saya dengan Superheroku ini.

Sepuluh tahun berlalu, sang Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya sudah mulai terlihat tak sekokoh dulu, tetapi bagiku beliau tetaplah superhero tiada tanding. Sering sekali kudapati si Belalang Tempurnya merajuk, enggan di kayuh oleh sang empunya, sangat manja. Ban pecah, rantai putus dan masih banyak lagi alasannya. Tetapi Superheroku ini dengan sabarnya menuntun si Beleleng Tempur dengan setia, tanpa mengeluh. Aku hanya tertunduk malu melihat ketulusan dan semangat superheroku ini.

Tanggal 10 Desember 2011 Pukul 22.05 WIB, ibuku menelponku dengan suara sedikit gemetar tetapi dengan sekuat tenaga mencoba menegarkan agar suaranya terdengar seperti biasa, menyuruhku untuk segera pulang dari perantauan detik ini juga, ketika kutanya kenapa, beliau hanya menyuruhku pulang saja, hanya pulang. Dengan perasan yang tak menentu dan seribu tanya yang memadati isi kepalaku, aku melesat dengan belalang tempurku (baca : Sepeda Motor, memang tak segagah Belalang Tempur milik kakekku), melesat dengan ditemani rintik hujan yang mengguyurku, aku tak peduli, hanya pulang, itu saja.

Sesampainya dirumah tanggal 11 Desember 2011 Pukul 02.00 WIB, tak kudapati seorangpun didalam rumah, ketika kutelpon ibuku, beliau menyuruhku datang kerumah kakekku. Dengan perasaan tambah tak menentu dan ditambah seribu lagi tanya yang sekali lagi memadati isi kepala, aku melesat tak kenal lelah.

Setibanya dikediaman kakekku, kudapati sang Ksatria Baja Hitamku Superhero tiada tanding bagiku, sudah terbujur kaku terbungkus kain kafan, saat itu juga detak jantungku serasa terhenti sejenak, lemas tak tertahan seperti ada seseorang yang menarik paksa keluar seluruh tulang-belulangku dari jasadku, aku terduduk, diam. Sang Maestro, Ksatria Baja Hitam pergi meninggalkan seisi dunia yang mengharu biru menangisi kepergiannya, dengan meninggalkan sesungging senyum dan Belalang Tempurnya.

Semasa hidupnya, beliau dikenal sangat pendiam, tidak pernah mengucap, mengerti dan mengenal kata cinta dan sayang, hanya ketulusan kasih yang beliau curahkan, terpancar dan terlihat jelas dari auranya yang sabar dan ikhlas, sekali lagi tanpa kata cinta dan sayang.

Pantaslah Allah SWT memanggilnya dengan sangat hormat ketika beliau sedang duduk di tahiat akhir Shalat Maghrib berjamaah dimasjid. Pantaslah jika banyak kerabat yang menangisi kepergiannya, pantaslah banyak sekali orang yang datang untuk menghadiri dan mengiringinya bahkan sesekali tanpa diminta mereka berkisah mengenangnya bersama kakekku dulu,  dan pantaslah, semua itu karena ketulusannya, polos, lugu, wibawa, jujur dan diamnya. Tanpa sedikitpun kekuranggannya.

Selamat jalan Superheroku, Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya. Semoga diterima dan dikasihi disisi-Nya, diampuni segala dosanya, diterima segala amal ibadahnya dan untukku dan untuk keluarga yang ditinggalkan agar diberi ketabahan dan keikhlasan..

Special tribute untuk Superheroku, Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya. In memoriam, Rest In Peace. Alm. Kakekku, Kama Bin Murjali

Ditulis di Karawang, pada 19 Desember 2011. Pkl 22.58WIB

Catatan (menjelang) Ahir Tahun 2011

Belum tuntas kasus kerusuhan dan pembantaian di Papua, muncul lagi kasus serupa di Mesuji Lampung dan sekitarnya. Pun belum tuntas, kini media disibukkan dengan kasus yang lagi-lagi serupa dengan deretan kasus-kasus diatas, kerusuhan dan pembantaian di Bima NTB. Dan tidak menutup kemungkinan masih banyak kasus serupa dibelahan bumi Indonesia yang tidak terliput oleh media, mungkin terlalu banyaknya atau bahkan sengaja disembunyikan oleh oknum tertentu. Parahnya (dan mudah-mudahan kali ini salah) adalah serangkaian deretan kasus yang saling terkait motifnya (sumber : dari beberapa media). Seribu satu alasan yang mungkin dibenarkan dan mungkin pula disalahkan.

Belum lagi kasus pidana korupsi yang tertumpuk bertindihan tanpa ada penyelesaian akar masalahnya, satu kasus belum selesai, mengantri kasus-kasus yang berdesakan “ingin segera” diliput media. Sebagai contoh, kasus Century, kasus Gayus Tambunan, kasus Nazarudin dan masih banyak lagi. Seperti halnya diatas, belum terselesaikan, muncul dan muncul lagi kasus-kasus baru yang serupa.

Kasus lain seperti kemelut olah raga, kisruh reshuffle kabinet pemerintah, dan lain-lain. Dengan kemampuan media yang lihai mencium dan menangkap serangkaian kasus (tanpa di sortir dan disensor) bermanuver dari satu kasus ke kasus yang lain disuguhkan dimuka publik dengan atau tanpa intrik, sangat vulgar, luar biasa.

Yang ingin saya sampaikan disini adalah bukan menyoal kasus kerusuhan kekerasan pembantaian atau sederet kasus tindak pidana korupsi yang tak kunjung reda, biarlah itu semua difahami dan tentunya diselesaikan oleh pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Tetapi jauh dari itu adalah peranan media yang beraksi liar luar biasa. Disaat bangsa ini baru belajar berdiri, dijejali dengan konsumsi virus menyebar, tayangan dan tontonan yang (kita semua sama-sama setuju) secara langsung atau tidak langsung berdampak ciutnya mental rakyat bangsa ini. Menabur pesimistis disegala penjuru, menumbuhkan mental-mental negatif. Maka tidak heran jika suatu saat kasus yang terurai diatas akan terulang dimasa mendatang, mungkin dengan modus, motif dan intrik yang berlipat-lipat hebatnya dari sekarang.


Betapa tidak, dari melihat, mendengar, mendiskusikan dan diulang berkali-kali oleh media yang dengan lugasnya menggambarkan, mengilustrasikan bahkan memaparkan secara terang dan jelas visualisasi dari kasus-kasus diatas, baik saksi mata yang tidak berpihak, gambar atau video yang ditayangkan, sangat vulgar, ditambah lagi media yang terkesan “meng-kompori”.

Lantas, pantaskah peristiwa atau kejadian luar biasa ini layak dikonsumsi oleh rakyat awam kebanyakan yang tidak tahu-menahu soal ketidaknormalan bangsa ini? Dan bukannya (lagi-lagi) pemerintah beserta jajarannya yang terkena imbasnya (walaupun tidak semua baik). Dampaknya, ya tidak lain dan tidak bukan adalah kewibawaan Kedaulatan Bangsa ini yang tercoreng, baik didalam maupun diluar negeri. Memang demokrasi, bebas mengumumkan dan mempublikasikan apapun sesuka hati. Tetapi bukankah kedaulatan bangsa ini lebih pinting?

Sangat bijak sekiranya kasus-kasus besar dan kasar diatas dikonsumsi dan ditelaah oleh orang (maaf) besar dan kasar pula. Orang awam seperti kami, cukuplah disuguhi tayangan dan tontonan positif tentang kesejahteraan hidup. Missal tentang pertanian, cara menanam dan memanen yang baik, cara menjual yang baik dan sebagainya. Atau penyuluhan penghijauan beserta dampak positifnya. Atau sosialisasi olah raga dengan membumikan bersepeda untuk mengurangi polusi. Atau kiat KB agar pertumbuhan masyarakat bangsa ini seimbang dan terkendali. Dan yang terpenting adalah pendidikan, semisal pendidikan Pancasila berikut pemaparan makna dan ulasan visi dan misinya, tidak lupa pendidikan enterpreneur. Tentunya dengan tayangan dan tontonan yang positif akan berimbas pada pola fikir yang positif pula bukan? Dan sebaliknya tentunya.

Saya dan anda tentu sefaham jika media adalah hiburan temporary dari kesibukan rutinitas hidup, melupakan tekanan-tekanan dan menghilangkan beban barang sejenak. Yang diharapkan adalah tayangan dan tontonan yang menghibur tentunya sebagai fitrah media. Baiklah, untuk sebagian kalangan tertentu merasa terhibur dengan tayangan dan tontonan diatas (walaupun saya tahu, terpaksa dihibur-hiburkan saja), tetapi lagi-lagi untuk kaum pinggiran seperti saya dan kebanyakan malah terkesan menambah beban hidup dengan meracuni otak dan fikiran negatif.

Memang ada sebagian media yang tidak terlalu banyak sibuk tentang tayangan dan tontonan “besar dan kasar” seperti rangkaian kasus diatas, tayangan dan tontonan alternatif menurut saya, gossip selebriti, boomingnya musik boyband dan girlband dan bius pesona sinetron yang aduhai luar biasa. Kalau boleh memilih, saya pilih kantong kresek, karena semuanya (maaf) “sampah”.

Lalu rakyat bangsa ini harus mencari hiburan dimana? Yang semurah media di Indonesia saat ini, tentunya yang mendidik dan berkualitas?

Apakah harus bertanya pada “Ayu Ting Ting?” atau bertapa saja seperti “Bang Toyib?”.

Santai bang, yang terahir hanya bercanda. Intermezzo mengendurkan urat syaraf yang tegang.
Tarik nafas dulu bang, biar lega ah… :D



Ditulis di Karawang, pada 26 Desember 2011. Pkl 12.16 Wib

Kamis, 14 Juli 2011

"Error"

Seperti kemarin dan sebelumnya, aku disini, masih disini.

Diantara buritan ilalang di hamparan ladang tak berujung, bak kenari tua dirudung masa, ditinggalkan kawanan, meratap sendiri.

Sampai disuatu siang yang terik, perlahan angin berhembus menghimpun serpihan awan yang menjadi gulungan mendung kelabu, aku disini, sendiri tak mampu berdidri melawan gemuruh dan hantaman hujan dan badai.

Ingin berlari sekuat tenaga, kemudian membentangkan sayap yang sudah tak bertenaga, terbang meninggalkan tumpukan jerami yang menghalangiku dari pandangan untuk mengejarmu, disisa nafas trahir kuterjatuh, tak mampu, nyatanya ku tak sanggup berdiri, aku terkapar, kalah.

Meratapi diri, berteriak, tak ada satu pun yang peduli.

————- hening —————

Kuterjaga diantara lalu lalang warga kota ini, ditengah kerumunan pasar pagi. Aku hanya duduk bersila menahan sakit tak terperi.

Tak sadar diri, tak kenal diri.

————- hening —————

Hembusan dingin angin malam ini membangunkanku dari tidur panjangku, aku terjaga diantara mimpi didalam mimpi. Masih tak sadar diri.

————- hening —————

Fikiranku, mataku, jari-jariku sudah tidak mampu lagi berkoalisi. Bagaimana bisa aku bermimpi, nyatanya sampai detik ini masih terjaga, rasa kantuk enggan berlabuh. Sampai-sampai tak mampu membedakan nyata dan mimpi.

————- hening —————

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz........................

Kamis, 21 April 2011

Catatan "Kaki Lima"

Sedikit saja kita mebicarakan kaitannya antara Pemuda, Lapangan Kerja dan Pemerintah, ternyata terdapat garis linier yang sangat kontras jika dikaji dengan persoalan remeh-temeh ekonomi "Jaman Sekarang".

Tidak sedikit pemuda negeri ini (menurut saya, bahkan saya sendiri) yang masih terdoktrin dengan pola fikir [maaf] "Primitif", misalnya : "Kalau saya lulus besok, saya akan bekerja di perusahaan ini dan itu (sambil berapi-api menunjuk beberapa perusahaan bonafid lokal dan luar), apapun alasannya dan apapun caranya".

Dan sangat jarang sekali yang berfikir : "Bagaimanapun caranya, saya akan menciptakan lapangan kerja".

Seandainya saja setiap lulusan menciptakan perusahaan mandiri (taruhlah perusahaan tahu dan tempe). Misal setiap satu enterpreneur muda merekrut lima orang saja, saya yakin di negeri ini semakin berkurang pengangguran setiap tahunnya, tidak mustahil akan menepis pengangguran sama sekali, bahkan mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri. Sehingga tidak ada lagi pemuda-pemuda yang kehabisan tenaga, putus asa, depresi berduyun-duyun berdesakan membanjiri setiap pembukaan bursa lowongan kerja, sekalipun dengan upah yang jauh dari pada cukup, dengan dalih "yang penting kerja, yang penting tidak menganggur".

Masalahnya, pemerintah dan lembaga yang terkait sudah mampukah menampung aspirasi calon enterpreneur-enterpreneur muda saat ini? Saya yakin belum, bahkan tidak.

Kenapa? Kurangnya pelatihan, seminar dan doktrin kewirausahaan yang sangat langka di jaman yang semodern ini, dimana surat-menyurat dari mulai via burung merpati sudah diganti dengan e-mail dan internet. Tidak adanya pinjaman modal yang transparan untuk calon enterpreneur-enterpreneur muda beserta bimbingan sampai ke pemasarannya. Sudah cukup dijadikan pembuktian "cuek"nya pemerintah terhadap generasi mudanya.

Pemerintah beserta jajaran yang terkait sangat sulit sekali "menghibahkan dana" untuk regenerasi pemimpin negeri ini, calon-calon penerus bangsa yang berdikari, yang merdeka secara totalitas, bukan sekedar merdeka fisik, tetapi benar-benar sejatinya merdeka tanpa ada telunjuk bangsa lain di dalam negeri.

Dengan sibuknya pemerintah menarik investor-investor asing, mengumbar janji yang memanjakan investor tanpa mempedulikan generasi mudanya yang nantinya menjadi "buruh" investor asing. Memberikan fasilitas ini dan itu kepada investor. Sebaliknya, tidak pernah menuntut investor untuk memberikan tunjangan dan kebutuhan ini dan itu kepada generasi mudanya. Mulai dari sistem perjanjian kerja yang "tolol", kerja kontraklah, out sourchinglah, besok mungkin rodi.

Pernahkah mereka mencoba sekali saja, merasakan nasib pemuda-pemudanya saat ini, dan bagaimana nasib hari esoknya, nasib anak dan istrinya? Saya yakin mereka tidak pernah mau ambil pusing.


Karawang, 20 April 2011. Pkl 22.37

Kamis, 10 Maret 2011

Cincinmu belum ada yang memiliki Bu, maafkan..

Masih terduduk di bangku taman kota ini, terdiam, diantara hiruk pikuk warga Jakarta. Aku disini, sendiri, terasa sepi di keramaian kota ini. Meresapi harum tanah yang di jilat hujan, menikmati desiran angin Jakarta malam ini, dingin. Gemerlap temaram lampu taman kota dan desir hujan malam ini, tak mengusikku dari lamunan ini, renungan ini.


Teringat kata-kata bijak pamanku ketika bertamu di rumahnya dengan ibuku saat itu, sangat sederhana, tetapi sungguh dahsyat sarat dan maknanya, hingga menyadarkanku akan keegoisan ini.

“Kau tak lihat senyum manis ibumu, tawa renyahnya setiap menggendong anakku? Lihatlah.. Saya rasa beliau akan lebih bahagia jika yang digendong adalah anakmu, cucunya. Apakah kau tidak ingin memberikan kebahagiaan untuk ibumu yang sudah tua? Apakah kau yakin ibumu masih ada ketika kau sudah punya istri dan anak? Apakah kau berani menjamin?” terdiam, tak berkata apa-apa ketika paman menghampiriku di pekarangan rumahya.

“Percayalah, bukan hanya ibumu yang menanti kau beristri, lihatlah adik-adikmu, cobalah kau perhatikan perasaannya, mereka sudah besar, sudah dewasa, sudah siap berkeluarga. Memang tak pernah meminta, tapi mereka tidak ingin mendahuluimu.” Tak kusadari hati ini bembenarkan ucapannya, aku hanya diam, tersenyam, getir..
 
Semakin larut dengan kata-kata bijak pamanku, memang usianya lebih muda, 2 tahun lebih muda dari usiaku, tapi kedewasaannya jauh di bandingkan denganku, terlalu egois memikirkan karir dan kehidupan sendiri, tanpa mempedulikan perasaan ibu, dan adik-adikku. Anak macam apa aku ini? Kakak macam apa? Bukankah kejam?

Sebenarnya, setahun yang lalu sudah kurencanakan akan mempersunting seorang gadis, seseorang yang selalu dinanti kedatangannya, seseorang yang selalu berbagi senyum dan tawa ibu dan keluargaku, seseorang yang sudah sangat dekat dengan ibu dan keluargaku. Akan kuhadiahkan kejutan indah untuknya, akan kubuat hatinya berbunga-bunga. Aku akan mempersunting calon menantu impian ibu..

Janji yang sempat terukir dihati tak mampu kulunasi. Ibu tak perlu tahu, cukuplah aku yang merasakan pedihnya. Karena kebodohan ini, jari manisnya sudah diisi dengan cincin lain, bukan cincin darimu bu, maafkan aku.

Sesampainya dipelarian kota inipun tak dapat kulupakan tangis terakhirnya yang kutinggalkan bersama kenangan-kenanganku dulu bersamanya.

Dan sekarang, aku tak kuasa menahan perasaan, bukan hanya perasaanku, jauh dari itu, perasaan ibu dan adik-adikku. Yang kugadaikan dengan kebodohanku sendiri.

Calon istri yang sudah lama kunanti, calon menantu idamanmu yang kau sayangi. Takkan pernah lagi singgah dihatimu, takkan pernah lagi ada untuk berbagi tawa denganmu.

Jam dinding taman kota berdenting menandakan pukul 1 pagi, membangunkanku dari lamunan panjangku. Tak terasa 2 jam terduduk di bangku taman kota ini, sendiri.

Langkah kaki ini terlalu berat untuk kukayuh, tak tau lagi tempat untukku berlabuh. Tersesat tak tau arah, terjebak dalam kenangan-kenangan dan tuntutan. Teringat senyum manis ibu.. Aku menjerit diantara deras hujan dan keheningan malam kota Jakarta.

… Cincin yang kau titipkan darimu tak sempat aku sematkan dijari manis calon menantumu bu, maafkan aku…

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes